Langsung ke konten utama

Meracau: Tentang Serangga

Sekor lalat terlihat terbang mengitari buah belimbing yang sudah terlihat menguning. Lalat buah, pikirku. Tentu saja, mana ada lalat bangkai yang terbang hinggap pada buah segar nan wangi. Sesekali ku seruput teh panas yang baru saja ku buat. Alangkah tenang dan damainya kehidupan pedesaan. Sederhana tapi penuh makna.

Beberapa bulan telah ku habiskan untuk tinggal di rumah. Meski ada rindu pada tempat perantauan yang telah sekian tahun kusinggahi, tapi toh rasa rindu untuk pulang lebih besar. Rumah adalah tempat paling damai. Ia adalah perwujudan surga, meski sesaat saja. Tentu saja, bagaimana bisa tempat yang masih berada di dunia, seindah apapun itu, dibandingkan dengan surga. Kabarnya saja, nikmat di sana tak ada tandingnya.

Orang tua-tua bilang, sejauh apapun pergi, tapi pulang mestilah tujuan akhir. Entah pulang ke rumah, pulang ke kampung halaman, bahkan pulang menuju-Nya, Dzat Yang Maha Esa. Pulang bahkan sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Simak saja, setiap tahun, tepatnya menjelang hari raya Idul Fitri, masyarakat berbondong-bondong mudik, pulang ke pangkuan orang tua. Meski barang sebentar, hal itu wajib ada, sekedar melepas dahaga rindu.

Seekor semut terlihat berjalan mendaki batang pohon yang menjulang. Ku terka, ia sedang tergiur bau manis bunga yang sebentar lagi melahirkan buah. Barangkali, semut lebih peka mencium aroma rizki yang diturunkan Tuhan. Pun ia tak serakah, hanya mengumpulkan apa yang menjadi kebutuhannya, juga koloninya.

Seharusnya, manusia banyak belajar dari semut-semut yang berkelompok, saling bantu untuk berkembang dan bertahan. Manusia lebih tertarik menjadi individu yang mau senang sendiri saja, tak perlu terikat dengan norma yang ada. Pikiran ini tentu pikiran subjektifku semata, tak mewakili kelompok manapun. Jika diingat-ingat, manusia bertipe seperti itu, adalah manusia yang ada pada tahap eksistensi etis jika diklasifikasikan dalam filsafat eksistensialisme Kierkegaard (semoga tak salah ingat).

Lantas, jika memang semut lebih baik, apakah seekor semut pun dapat mencapai tahapan eksistensialisme religius? ah sudahlah, tak mungkin juga dapat dibuktikan. Sekedar pikiran yang berkelebat. Kalau dipikir-pikir, waktu-waktu yang ku habiskan, menandakan tahapan eksistensiku masih ada tahapan pertama. Sebab aku hanyalah manusia yang mau enak dan menang sendiri. Bahkan tak jarang, suka meremehkan yang lain. Tak sadar bahwa justru akulah yang bodoh tak berguna.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meracau: Menumbuhkan Rasa Percaya Diri

Rasa kecil hati terkadang muncul menghantui ketika dihadapkan pada persoalan yang rumit dan sulit. Itu hal wajar sebab siapapun itu, selagi masih tergolong dalam spesies manusia, pasti memiliki rasa khawatir. Perasaan khawatir yang berlebihan itu kemudian menjelma menjadi bayangan raksasa yang siap menggencet, mengkerdilkan rasa yakin pada diri. Nyatanya, sebesar apapun perasaan khawatir dan kecil hati itu, ia tetaplah perasaan yang terbangun dan lahir dari pikiran. Sehingga solusi untuk hal itu adalah Pelatihan Sdm mengendalikan pikiran agar terus bersikap tenang dan optimis. Meski demikian, hal itu tidak selalu menjadi perkara gampang. Bahkan tak jarang seseorang membutuhkan dorongan dari luar, semisal semangat dari pacar, dan lain sebagainya. Waktu terkadang juga sangat efektif untuk membantu membakar semangat juang agar jangan mau kalah pada rasa takut. Orang-orang sering menyebutnya sebagai the powe of kepepet . Mengenai hal the power of kepepet ini, saya sendiri pernah me

Meracau: Orang Baik Punya Masa Lalu, Orang Jahat Punya Masa Depan

Pepatah bijak berbunyi “Orang baik punya masa lalu, orang jahat punya masa depan.” Kalimat itu seketika terbersit di pikiran. Kalimat yang dulu ku dengar dari seorang penceramah pada sebuah acara talkshow. Ia seorang kyai nyentrik yang suka berceramah dari satu tempat hiburan malam ke tempat hiburan malam lainnya. Ia pun sosok berkharisma yang tak pilih-pilih dalam bergaul. Salut! Terlepas dari sosok kyai itu, lantas apa pasal sehingga kalimat bijak tersebut yang menjadi pembuka dalam tulisan ini? Manusia seringkali susah untuk memaafkan kesalahan . Jangankan kesalahan orang lain, kesalahan diri sendiri pun terkadang susah dimaafkan. Sehingga kesalahan-kesalahan penuh sesal itu berubah menjadi beban yang menghantui, menggerogoti mental saban hari. Orang-orang semacam itu biasanya berdalih ‘susah berdamai meski dengan diri sendiri.’ Barangkali, mereka (orang-orang yang susah move on ) punya cara berpikir bahwa setiap kesalahan dan dosa haruslah ditebus dengan penyucian diri deng

Meracau: Kasih Tuhan Selalu Menuntun Manusia Untuk Bangkit

Tak biasanya, sudah sepagi ini semangatku untuk menulis bebas (free writing) muncul. Biasanya aku selalu bermalas ria untuk melakukannya. Meski tak sedikit aturang dilanggar, tak apalah dihilangkan pelan-pelan. Sepertinya, aku sendang bergairah. Birahiku memuncak, ingin mengeluarkan segala sampah yang memenuhi kepala. Tak pelak, berat terasa, seakan ia baru saja terbentur tembok. Entah apa yang kupikirkan, kebingungan, merasa tak berguna, merasa lelah, bahkan menyesal telah menyianyiakan kemampuan yang ada. Pelatihan Sdm , Seberkas caya masuk menembus sela-sela jendela. Mungkin itu gambaran pencerahan yang sedang berupaya menarik tanganku keluar dari kubangan hitam yang menenggelamkan. Dua ekor katak sedang berasyik-maksyuk dibawah kolong timba. Tak sengaja aku mengintipnya, semoga tak membuat mereka terganggu. Garis tangan tak menyiratkan pertanda baik. Ah persetan dengan ramalan, seakan tak percaya Tuhan saja. Garis tangan tak ada kaitannya dengan garis takdir yang Tuhan berika